Untuk
apakah dunia bagiku, aku hanyalah laksana seorang (musafir) yang
berteduh di bawah pohon, kemudian ia akan segera pergi meninggalkan
pohon itu”. (HR at-Tirmidzi III/278). Demikianlah ungkapan
Rasulullah SAW, manusia mulia dan bersahaja, padahal dunia berada
dalam genggamannya. Kekuasaan kekhilafahan Islam yang membentang
luas, harta kekayaan yang melimpah ruah. Semua itu, tidak ada tempat
dalam hatinya.
Kebersahajaan
dalam hidup Rasulullah SAW, bukan disebabkan ketidakmampuannya untuk
memperoleh kenikmatan dunia. Seandainya beliau membuka hatinya untuk
dunia, niscaya kemewahan dan kesenangan dunia akan sangat mudah
dinikmatinya. Tetapi, kerinduan hatinya senantiasa pada hidup yang
jauh lebih mulia, pandangannya melihat pada kehidupan yang lebih
tinggi daripada dunia ini. Bila dibandingkan, dunia ini tidaklah
berarti apa-apa. “Kubangan air di surga, jauh lebih baik daripada
dunia dan seisinya. Berjihad di jalan Allah, di pagi hari atau di
malam hari, lebih baik daripada dunia dan seisinya”. (HR Bukhari
XI/194).
Hidup
di dunia, dijalani bagai seorang musafir yang singgah pada suatu
tempat, untuk sementara. Kesenangan dinikmati dengan kesadaran, bahwa
itu hanyalah sesaat. Begitupula kesengsaraan dan penderitaan,
diterima dengan keyakinan bahwa hal itu pun akan berlalu. Kesenangan
dunia akan ditinggalkan, kesengsaraan dunia akan dilaluinya.
Kesenangan dunia tidak membuatnya lupa pada perjalanannya.
Kesengsaraan dunia tidak pula membuatnya berhenti melangkah menuju
tujuannya.
Dalam
perjalanan dunia, seorang musafir hanya membawa perbekalan yang
diperlukannya. Membawa segala hal yang diinginkan, hanyalah akan
membebani dan memberatkan perjalanannya. Ia menyadari sebaik-baiknya
bekal perjalanan hanyalah iman dan taqwa, sedangkan perbekalan dunia
seperti harta kekayaan, pangkat dan kekuasaan dan berbagai hiasan
dunia lainnya, dinikmati sekedarnya. Selebihnya, ia gunakan untuk
kelancaran perjalanannya menuju negeri akhirat.
Maka,
betapa mengherankannya, bila dalam hidup ini, manusia membebani
dirinya dengan sesuatu yang pasti ditinggalkannya. Lebih mengherankan
lagi, beban-beban dunia itulah yang diperebutkan, diperjuangkan,
hingga lupa pada perjalanannya. Dilalaikan oleh kenyamanan sementara
di tempat istirahatnya. Sibuk bermain-main mengumpulkan hiasan dunia.
Di
ujung perjalanan, kesadaran terhenyak, bahwa semua yang ia kumpulkan
dengan susah payah, berbaku hantam dengan sesama untuk hiasan dunia,
akan ditinggalkan. Seluruh kekayaan dan kekuasaan akan ditanggalkan,
hanya dengan kain kafan manusia masuk pada persinggahan terakhirnya
berupa secuil tanah. Kehidupan abadi tempatnya kembali, ditentukan
oleh perjalananya di dunia yang hanya sesaat.
Itulah
dunia, hanyalah persinggahan sementara dan kesenangan sesaat.
Rasulullah SAW berkata: “Seandainya kalian mengetahui apa yang
kuketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis…”
(HR Bukhari XI/246) ■
Komentar
Posting Komentar