“ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaithan, maka sesungguhnya syaithan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nuur 21)
Perbuatan manusia, memiliki pengaruh yang timbal balik dengan hati. Hati yang kotor akan cenderung pada perbuatan yang jahat, maksiat dan mungkar. Hati yang bersih akan menyenangi hal-hal yang baik, ma’ruf dan berbagai keshalihan. Perbuatan yang jahat, maksiat dan mungkar akan menjadi kotoran yang menodai kebersihan hati. Bila dibiarkan dan terus meneruskan dilakukan, kotoran itu kian bertambah, melekat dan menutupi hati manusia. Sebaliknya, bila manusia senantiasa melakukan kebaikan dan keshalihan, niscaya hatinya akan kian bersih.
Ibadah bisa menghidupkan hati yang lemah, karena ia membersihkan penyakit yang menyelimuti hati. Shadaqah, infaq dan keshalihah lain, akan membersihkan hati dari kotoran. Setiap kebaikan akan menutupi kejahatan, membersihkan kekotoran hati. Bila manusia telah membiasakan diri dalam kebaikan, niscaya upayanya membersihkan hati akan lebih banyak dari kotoran yang melekat, maka hatinya pun akan terjaga dari kekotoran. Demikianlah pula halnya dengan meninggalkan maksiat, pun akan dapat menjaga hati manusia dari kotoran.
Kebersihan hati manusia dapat dilakukan dengan senantiasa melakukan kebaikan, ketha’atan dan amal shalih lainnya, atau dengan meninggalkan perbuatan maksiat dan mungkar. Kedua hal itu, akan dapat membersihkan hati manusia. Saat manusia memebersihkan kotoran hati, ia pun akan merasakan kenyamanan sebagaimana nyamannya tubuh manusia setelah disembuhkan dari penyakit yang melemahkannya. Kenyamanan ini berwujud hidupnya hati, ketentraman dan ketenangan dengan senantiasa cenderung kepada kebaikan serta menolak kejahatan.
Hati yang senantiasa dijaga kebersihannya inilah yang dirahmati Allah, sehingga ia terpelihara dari bujuk rayu syaithan. Hati yang dirahmati Allah tidak mudah untuk mengikuti langkah-langkah syaithan. Hal ini berbeda dengan hati yang tidak dirahmati Allah, tidak terjaga sehingga mudah larut dalam bisikan dan bujuk rayu syaithan. Bisikan dan rayuan syaithan itu akan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Bila hati yang bersih merasakan kenyamanan tatkala kotorannya lepas, maka hati yang kotor justru merasakan kegelisahan tatkala kotoran melekat pada dirinya, Kemungkaran, kejahatan dan kemaksiatan lainnya, sesungguhnya adalah belenggu yang akan mendatangkan penderitaan bagi hati manusia. Hati manusia tidak akan pernah bisa merasakan ketentraman dengan perbuatan maksiat. Hati pun tidak akan nyaman dengan kekejian dan kerendahan akhlaq manusia. Manusia yang paling menderita dalam kehidupan adalah manusia yang telah mati hatinya kearena berbagai kotoran dan penyakit. Hati manusia yang mati senantiasa terbelenggu, sangat sulit untuk melepaskan diri sekalipun ia memiliki keinginan untuk berlepas diri. Ia menginginkan ketentraman dalam hidupnya, namun ia tidak bisa melepaskan diri dari kemaksiatan. Ia ingin hidup terhormat namun langkahnya selalu membawa pada kehinaan.
Begitulah hati yang tidak dirahmati Allah. Setiap langkah mereka terbelit oleh langkah-langkah syaithan. Kesadaran nurani yang terkadang muncul, segera terkubur kembali oleh tipudaya syaithan. Keinginan untuk berbuat baik dilumpuhkan oleh hawa nafsunya. Saat kebaikan dilakukan, menjadi sia-sia, dihancurkan oleh penyakit riya dan sum’ah. Hati yang terbelenggu seperti itu akan merasakan penderitaan dan siksa tidak terperi. Allah SWT menjauhkannya dari rahmat, mengunci mati hatinya, sehingga tidak mampu melepaskan diri dari tipuan langkah-langkah syaithan.
Hati terkunci mati, tidak terjadi begitu saja. Kotoran menggunung dalam hati, tidak terwujud tiba-tiba. Penyakit hati membelit dan mematikan, tidak tumbuh dalam sekejap. Semua itu, karena sang pemilik hati memang selalu mengabaikan hatinya. Ia tidak pernah memenuhi kebutuhan hatinya. Tidak pernah membaca al-Qur’an, menjauhi majlis ta’lim, terlalu angkuh untuk berdo’a dan sujud. Hati pun semakin cepat membusuk dengan perilaku yang mungkar, dosa dan kemaksiatan. Bila pun ada kebaikan yang dilakukan, terlalu sedikit untuk mampu membersihkan kotoran yang melekat. Lama kelamaan hati menjadi tumbul dan melemah, hingga hidup pun semakin jauh dari rahmat Allah dan mendekati langkah-langkah syaithan.
Karena itu, menjaga hati adalah dengan dua cara, menjaga sikap dan perilaku dari langkah-langkah syaithan yang senantiasa menyeru pada perbuatan dosa, maksiat dan kemungkaran, serta memelihara sikap dan perilaku dengan memperbanyak perbuatan shalih dan ma’ruf…
Komentar
Posting Komentar