Langsung ke konten utama

Menentukan Tanggal dan Hari Pernikahan


Ustadz, di keluarga saya telah menjadi adat untuk menghitung hari baik-buruk dalam menentukan tanggal menikah. Apakah adat tersebut boleh saya ikuti?

Adat kebiasaan (al-urf) dalam Islam secara umum bisa dibagi ke dalam dua kategori. Pertama adat yang baik, yakni adat yang selaras dengan syari’ah atau tidak bertentangan dengannya. Kedua, adat yang rusak yakni adat yang bertentangan dengan syari’ah. Seorang muslim harus memperhatikan adat yang baik, sedangkan adat yang buruk wajib ditinggalkan.

Adapun berkaitan dengan masalah menetapkan tanggal pernikahan, bila perhitungannya berdasarkan alasan-alasan yang logis, rasional dan bisa dipahami akal, maka ketetapan tersebut sebaiknya diperhatikan. Misalnya menetapkan hari pernikahan pada hari ahad di awal bulan, dengan alasan hari libur sehingga memudahkan saudara, kerabat dan sahabat untuk bisa datang, atau pertimbangan kondisi keuangan. Tetapi, bila yang dimaksud adalah menetapkan hari dan tanggal nikah dengan pertimbangan yang tidak rasional, seperti menghubungkan dengan hari dan tanggal kelahiran, peredaran bintang (nujum), dan hal-hal mistik lainnya, lalu meramalkan kebaikan dan keburukan atas hal tersebut, maka itu adat rusak yang mesti ditinggalkan.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan.” (QS. Al-A’raf: 188). Dan Rasulullah SAW melarang keras kita percaya akan hal-hal tersebut (ramalan hari baik-buruk), sabdanya: “Barangsiapa yang datang kepada tukang ramal (ahli nujum) lalu ia menanyakan sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam”. (HR Muslim).

Bila hal demikian yang dimaksud adat menentukan tanggal pernikahan, maka terlarang bagi anda untuk mengikuti dan melestarikannya. Hanyasaja, anda perlu berusaha keras untuk memberikan penjelasan yang sebaik-baiknya kepada keluarga agar mereka bisa memahami dan menerima sikap anda. Wallahu’alam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Menjama' Sholat Ashar dan Maghrib?

Ustadz apakah shalat Ashar bisa dijama’ dengan shalat Maghrib. Soalnya saya pernah terlambat shalat Ashar sedang di perjalanan memasuki maghrib. Menjama’ atau melaksanakan dua kewajiban shalat pada satu waktu merupakan keringanan ( rukhsah ) yang diberikan Allah SWT atas kaum muslimin, sekaligus menjadi salah satu bukti keluwesan Islam dan kemudahan hidup di dalam aturan Islam. Keringanan untuk menjama’ shalat ini diantaranya diberikan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan ( musafir ). Cara pelaksanaan shalat jama’ ini bisa dilakukan dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir . Jama’ taqdim ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang awal yakni dengan menarik waktu shalat berikut ke waktu awal, misalnya melaksanakan shalat ashar ke waktu dzuhur. Sedangkan jama’ takhir ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang akhir atau mengerjakan shalat awal ke waktu shalat berikutnya, misalnya melaksanakan shalat dzuhur ke waktu ash...

Menunaikan Haji Tapi Tidak Zakat

Ustadz apa hukumnya orang yang mampu melaksanakan haji tetapi tidak menunaikan zakat? Apakah hajinya sah? Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara utuh, sebagaimana halnya diwajibkan menegakkan Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan demikian, seluruh kewajiban ibadah tidak boleh dipilah-pilah dalam pelaksanaannya. Seorang muslim wajib menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, serta pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut tanpa adanya alasan ( udzur syar’i ), maka dia telah melanggar perintah Allah. Orang yang meninggalkan sebagian kewajiban disebabkan kelalaian, malas ataupun kebodohan, tanpa bermaksud mengingkari kewajiban tersebut atau meremehkan syari’ah Allah dan masih mengerjakan sebagian kewajiban Islam lainnya, maka ia masih digolo...

Memperoleh Pekerjaan Dengan Menyuap

Ustadz bagaimana hukumnya memperoleh pekerjaan dengan cara menyuap? Apakah pekerjaan tersebut halal? Praktek suap ( risywah ) baik berupa uang, barang atau bentuk lainnya, adalah tindakan pelanggaran syari’ah yang serius. Para pelaku yang terlibat di dalamnya, yaitu penyuap, yang menerima suap dan perantara terjadinya praktek tersebut dilaknat oleh Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi: “Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan orang yang menjadi perantara diantara keduanya”. (HR. Tirmidzi). Dalam hadits yang lain, Rasul SAW bersabda: “Orang yang menyuap dan orang yang disuap masuk neraka”. (HR Thabrani). Kerasnya larangan praktek suap ini karena bisa merusak kehidupan masyarakat. Bila suap menyuap telah biasa dan membudaya di tengah masyarakat, niscaya rusaklah seluruh tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Tidak hanya rusak dari sisi akhlak semata, tetapi juga meruntuhkan sendi ekonomi, ikatan sosial, kehidupan p...