Langsung ke konten utama

Memahami Kewajiban Thaharah

Kebersihan menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan Islam bagi kehidupan seorang muslim. Bahkan, sejak awal risalah ini diturunkan, Allah SWT telah mendorong kaum muslimin agar sungguh-sungguh memperhatikan masalah kebersihan dirinya. Pada ayat yang turun di awal risalah, Allah SWT berfirman: “Dan pakaianmu bersihkanlah”. (QS. Al-Mudatsir 4). Bahkan, Islam pun bukan sekedar mengajarkan pola hidup bersih, tetapi kaum muslimin pun diajarkan untuk memperhatikan keindahan (estetika). Firman Allah SWT: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap kali masuk masjid”. (QS. Al-A’raf 31)

Rasulullah SAW pun bersabda berkaitan dengan masalah kebersihan ini, “Kebersihan (ath-thuhuur) itu sebagian dari iman”. (HR Muslim dari Abu Malik al-Asy’ari). Kebersihan (ath-thuhuur) yang dimaksud, bukan hanya kebersihan secara lahiriah, seperti bersihnya badan, tempat dan pakaian semata, tetapi juga mencakup kebersihan batin seorang muslim. Bahkan Imam al-Ghazaly menafsirkan makna ath-thuhuur pada hadits tersebut sebagai bersihnya hati dari segala dendam, dengki dan penyakit-penyakit hati lainnya. Beliau juga menafsirkan bersuci (thaharah) dengan meninggalkan maksiat dan dosa. Makna inipun tercakup pada ayat Allah SWT: “Di dalam (masjid)nya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah 108)

Semua makna kebersihan dan kesucian difahami para ulama dalam lingkup yang sangat luas, bersih lahir dan batin, kebersihan diri dan lingkungan, kebersihan dalam tujuan dan cara, dan dalam seluruh bidang kehidupan kaum muslimin. Bahkan di kalangan kaum muslimin populer ungkapan “an-nadzhafatu min al-iman”, kebersihan adalah sebagian dari iman. Ungkapan ini mengungkapkan perhatian yang besar atas masalah kebersihan yang muncul dari pemahaman agama yang lurus dan keimanan yang bersih.

Para ulama fiqih (fuqaha) pun sangat memperhatikan masalah kebersihan (thaharah) ini. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqih biasanya pembahasan masalah bersuci (thaharah) selalu diletakkan pada awal pembahasan sebelum bab shalat. Hal ini, karena thaharah dipandang sesuatu yang harus dipahami terlebih dahulu oleh seorang muslim sebelum ia bisa melaksanakan kewajiban ibadah (shalat). Para ulama memulai pembahasan dari fiqih ibadah sebelum fiqih muamalah, sedangkan ibadah yang paling awal dan pokok bagi seorang muslim adalah shalat, dimana shalat selain rukun dan tiang agama juga merupakan kewajiban harian seorang muslim yang merupakan ikatan dirinya dengan Rabb-nya. Didahulukannya fiqih ibadah sebelum fiqih muamalah, atas dasar bahwa kewajiban yang paling utama bagi makhluk adalah kewajibannya terhadap sang Khalik, yakni kewajiban untuk beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya. Sedangkan ibadah yang paling utama dan agung dalam Islam ialah shalat, dan syarat pertama dari shalat ialah thaharah.

Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seseorang diantara kalian apabila berhadats, sehingga ia berwudhu”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Pada hadits lain yang semakna, Rasul SAW menegaskan: “Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.” (HR Muslim dari Abdullah bin Umar). Bahkan, ada yang berpendapat bahwa maksud iman pada hadits “Kebersihan (ath-thuhuur) adalah sebagian dari iman” ialah shalat. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT: ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu ke baitul maqdis)”. (QS. Al-Baqarah 143). Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan syarat suatu amal seakan setengah dari amal tersebut.

Walau masalah bersuci (thaharah) ini merupakan hal yang sangat penting dan kewajiban awal yang harus difahami, sesungguhnya ia merupakan masalah yang mudah dan sederhana, sebagaimana ajaran-ajaran Islam lainnya. Kemudahan, tidak mempersulit, itulah jiwa dari syari’ah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh pembuat syari’ah, Allah SWT: “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah 6).

Pengertian thaharah sendiri, secara bahasa bermakna nazhafah, yakni kebersihan. Sedangkan secara istilah, thaharah itu bersuci dari kotoran (khabats) maupun dari hadats. Khabats ialah najis yang bisa diindera dan bila mengenai badan, pakaian ataupun tempat maka wajib disucikan, sedangkan hadats ialah najis yang ditetapkan oleh syariah (najis hukmiyah), seperti hadats kecil dibersihkan dengan wudhu sedangkan hadats besar dengan mandi. Thaharah adalah bagian dari ibadah ritual (ta’abbud), karenanya tidaklah dituntut bagi kaum muslimin untuk memahami sebab dari apa yang disyari’ahkan dalam masalah thaharah ini, kewajibannya adalah sepenuhnya menerima dan mematuhinya.

Pada tulisan berikut Insya Allah akan dibahas masalah thaharah ini, pembahasan seputar masalah air untuk membersihkan diri, memahami najis dan jenis-jenisnya serta tatacara menyucikannya…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Menjama' Sholat Ashar dan Maghrib?

Ustadz apakah shalat Ashar bisa dijama’ dengan shalat Maghrib. Soalnya saya pernah terlambat shalat Ashar sedang di perjalanan memasuki maghrib. Menjama’ atau melaksanakan dua kewajiban shalat pada satu waktu merupakan keringanan ( rukhsah ) yang diberikan Allah SWT atas kaum muslimin, sekaligus menjadi salah satu bukti keluwesan Islam dan kemudahan hidup di dalam aturan Islam. Keringanan untuk menjama’ shalat ini diantaranya diberikan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan ( musafir ). Cara pelaksanaan shalat jama’ ini bisa dilakukan dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir . Jama’ taqdim ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang awal yakni dengan menarik waktu shalat berikut ke waktu awal, misalnya melaksanakan shalat ashar ke waktu dzuhur. Sedangkan jama’ takhir ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang akhir atau mengerjakan shalat awal ke waktu shalat berikutnya, misalnya melaksanakan shalat dzuhur ke waktu ash

Manajemen Sumberdaya Waktu

Demi masa.. Begitulah Allah SWT bersumpah atas waktu di dalam al-Qur'an surat al-Ashr. Hal ini, menurut para ahli tafsir ( mufassir ), menunjukkan akan arti penting atas permasalahan tersebut. Dan sepatutnya menjadi perhatian utama bagi kaum muslimin, yang membaca al-Qur'an. Perhatikanlah waktu! Sesungguhnya seluruh manusia itu berada dalam kerugian. Begitulah Allah SWT melanjutkan peringatannya. Pengelolaan waktu yang serampangan mengakibatkan kehancuran dan kebinasaan. Di dunia, waktu yang tersia-sia menjerumuskan manusia ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan secara materi (peradaban) maupun budaya. Di akhirat, manusia yang hidupnya tidak memperhatikan waktu akan menuai kesengsaraan yang tidak kalah nestapanya dan tiada berkesudahan. Maka, perhatikanlah waktu, bagaimana kita mengelolanya dan untuk apa kita alokasikan seluruh waktu yang kita miliki. Agar kita terhindar dari kebinasaan di dunia dan di akhirat, sebab manusia yang bijak akan mengalokasikan waktunya

Menunaikan Haji Tapi Tidak Zakat

Ustadz apa hukumnya orang yang mampu melaksanakan haji tetapi tidak menunaikan zakat? Apakah hajinya sah? Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara utuh, sebagaimana halnya diwajibkan menegakkan Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan demikian, seluruh kewajiban ibadah tidak boleh dipilah-pilah dalam pelaksanaannya. Seorang muslim wajib menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, serta pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut tanpa adanya alasan ( udzur syar’i ), maka dia telah melanggar perintah Allah. Orang yang meninggalkan sebagian kewajiban disebabkan kelalaian, malas ataupun kebodohan, tanpa bermaksud mengingkari kewajiban tersebut atau meremehkan syari’ah Allah dan masih mengerjakan sebagian kewajiban Islam lainnya, maka ia masih digolo