Ustadz, benarkah rezeki, ajal dan bahkan seseorang akan menjadi ahli neraka atau surga telah ditakdirkan Allah SWT. Jika demikian, untuk apa manusia berusaha dan para ustadz berdakwah?
Kesalahan memahami masalah takdir menjerumuskan manusia pada dua kesesatan. Pertama, sikap fatalis, menyerah pasrah atas apapun yang menimpa dirinya (musayyar) sebagaimana kaum jabariyah. Kedua, sikap bebas dimana manusia bisa melaksanakan amalnya semata-mata disebabkan kemauannya sendiri (mukhayyar) sebagaimana difahami kaum mu’tazilah. Karena itu, memahami masalah takdir adalah hal prinsipil dalam keimanan seorang muslim.
Di dalam al-Qur’an banyak firman Allah SWT yang menegaskan, bahwasanya seluruh makhluk Allah tidak lepas dari takdirNya. Diantaranya, firman Allah SWT: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu itu dengan qadharnya”. (QS. Qamar 49). Makna takdir (qadhar) ialah ketentuan atau ketetapan Allah SWT atas segala makhluknya. Termasuk di dalamnya ketetapan sebab-akibat, hukum kausalitas. Orang masuk neraka atau surga adalah akibat, maksiat atau tha’at adalah diantara sebabnya.
Intinya, apa yang telah terjadi maupun apa yang akan terjadi, ada dalam ilmu Allah SWT. Semua kemungkinan yang diambil manusia, telah Allah ketahui akibatnya. Tindakan yang anda ambil melahirkan ratusan kemungkinan dan jutaan atau bahkan milyaran kemungkinan, semuanya dalam pengetahuan Allah dan tidak lepas dari apa yang telah ditetapkan Allah. Jika manusia ingin selamat hidupnya di dunia dan di akhirat, Allah mewajibkan manusia mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Untuk mencapai keberhasilan hidup di dunia, wajiblah manusia mempelajari sunnah kauniyah (ketetapan-ketetapan Allah di alam semesta ini).
Bekerja atau berdagang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, berdakwah ke jalan Allah dan berjihad untuk menghapus kemungkaran dan kedzaliman adalah bagian dari takdir itu sendiri. Ketika Nabi SAW ditanya apakah berobat bisa menolak takdir (sakit). Beliau SAW menjawab: “Itu (berobat) termasuk takdir Allah juga”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar