Dalam suatu masalah, seringkali para ulama berbeda pendapat. Hal ini sering membuat saya bingung harus mengikuti yang mana. Bagaimana saran ustadz?
Perbedaan pendapat di kalangan ulama semestinya tidak perlu menyebabkan kebingungan, malah membawa hikmah bagi ummat dalam menjalankan agamanya. Selain itu, perbedaan itu pun terjadi pada masalah-masalah ijtihadi seperti fiqih dan cabang-cabang agama (furu’), adapun pada masalah-masalah pokok (ushul) seperti aqidah, alhamdulillah sangat sedikit perbedaan pendapat ulama.
Untuk memutuskan pendapat ulama mana yang akan diikuti, hal pertama ialah ketahui dan fahamilah argumentasi dari pendapat tersebut. Argumentasi yang dimaksud ialah dalil-dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Pendapat yang tidak didukung dalil-dalil yang sah, bisa langsung diabaikan. “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan RasulNya (as-Sunnah)”. (QS. An-Nisaa’ 59).
Tidak akan mampu menyimpulkan hukum, pendapat dan pandangan atas suatu masalah dalam agama ini, kecuali para ulama yang memahami benar tentang al-Qur’an dan as-Sunah. Karena itu, hal kedua ialah perhatikan kompetensi keilmuan orang yang berpendapat tersebut. “Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr jika kamu tidak mengetahui”. (QS. An-Nahl: 43). Ahludz Dzikr ialah para ulama yang menguasai ilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Tidak boleh seorang muslim meminta pendapat atau fatwa dalam agama ini kepada orang yang tidak jelas atau diragukan keilmuannya dalam masalah agama (syari’ah).
Ketiga, jika pendapat yang berbeda tersebut sama-sama didukung argumentasi yang kuat dan yang berbeda pendapat adalah ulama-ulama yang dikenal luas keilmuan dan kewara’annya, maka hal itu kembali kepada siapa anda percaya (tsiqah). Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Barangsiapa mengikuti para Imam dan mencintai mereka, mengikuti pendapat mereka yang (diyakininya) selaras dengan sunnah, maka dia telah melakukan hal yang baik bahkan inilah yang lebih baik dari yang lain”. (Majmu al-Fatawa juz 22, hal 250). Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar