Langsung ke konten utama

Sabar Ikhtiyarian

Dan Allah telah membuat perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman dan tentram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, oleh karenanya Allah memberkan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. (QS. An-Nahl 112)


Seorang mu’min dalam menjalani hidupnya, akan menghadapi orang-orang yang dengki (hasad) atas keimanannya. Orang-orang yang dengki ini, merasakan kedengkian atas keimanan orang-orang yang beriman. Mereka tidak rela meliat nikmat iman yang telah diberikan Allah SWT dan kedengkian mereka akan hilang manakala keimanan itu lenyap dari orang-orang beriman.

Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 120, Allah SWT menggambarkan kedengkian yang diidap kaum Yahudi dan Nasrani. Firman Allah SWT: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”.

Di daam menghadapi orang-orang yang dengki ini, diwajibkan atas orang-orang beriman untuk bersabar dan bertaqwa. Selain itu, akan lebih utama pula bila ia dengan lapang dada memberikan maaf atas orang-orang yang dengki. Hal ini sebagaimana dicontohkan oelh nabi Yusuf AS ketika menghadapi kedengkian saudara-saudaranya, dimana beliau sampai dilemparkan ke sumur dan menjadi hamba sahaya di negeri orang. Kesabaran dan sikap pemaaf juga diteladankan oleh Rasulullah SAW tatkala menghadapi penduduk Tha’if yang telah mengusir dan mendzalimi beliau.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyah membagi kesabaran seorang beriman ke dalam dua kelas. Pertama adalah sabar yang memang sudah semestinya. Kesabaran ini adalah kesabaran yang sudah sepatutnya dimiliki kaum muslimin tatkala menghadapi musibah yang tidak ada lagi bagi dirinya pilihan selain menerima dengan kesabaran. Hal ini seperti kesabaran seorang mu’min tatkala menghadapi sakit, kematian orang yang dicintai, kehilangan harta benda akibat bencana alam atau pencurian dan musibah lainnya. Kesabaran atas semua hal tersebut akan memiliki nilai yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan keridhaan Allah SWT atas kesabarannya, serta diampuni dosanya.

Jenis kesabaran yang kedua adalah sabar ikhtiarian, ini adalah sikap kesabaran yang ditunjukkan kaum muslimin dalam memelihara imannya atas segala rintangan yang hendak menghilangkan keimanannya tersebut. Sabar ikhtiarian ialah kesabaran yang dipilih seorang muslim secara sadar atas berbagai paksaan yang hendak mencabut keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana nabi Yusuf AS lebih memilih penjara daripada harus melayani hawa nafsu isteri pembesar Mesir. Dalam hal ini, Yusuf lebih memilih taat dan sabar atas resiko yang harus dihadapinya.

Begitulah kesabaran yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka tiada henti dipaksa untuk meninggalkan Islam. Kaum musyrikin mengancam mereka dengan pembunuhan, penyiksaan, pemboikotan hingga pengusiran dari kampung halamannya (Makkah). Nabi SAW dan para shahabatnya RA lebih memilih untuk bersabar menerima seluruh resiko itu, daripada harus meninggalkan keimanan dan sabar atas pilihan keimanannya. Berkata syaikul Islam Ibnu Taimiyah, “Kesabaran nabi SAW dan para shahabatnya lebih utama daripada yang dilakukan Yufuf. Jika Yusuf dihadapkan pada dua pilihan antara maksiat kepada Allah atau penjara, maka Nabi SAW dan para shahabatnya menghadapi pilihan yang lebih berat, yakni menanggalkan Islam atau mengalami penyiksaan, pembunuhan dan pengusiran.

Orang-orang yang disakiti atas imannya dan atas ketha’atannya kepada Allah dan rasulNya, apakah dengan penjara, diusir dari negaranya bahkan sampai hilangnya harta dan keluarga mereka, atau bahkan mereka disiksa dan lepas kekuasaan dan jabatannya, mereka tetap sabar. Mereka tetap memilih jalan yang sesuai dengan jalan para nabi dan sahabatnya, sebagaimana halnya kaum Muhajirin yang memilih sabar dalam keimanan sekalipun untuk itu mereka harus terusir dari negerinya sendiri. Bagi mereka pahala sesuai dengan kesabarannya. Tercatat bagi mereka amal shalih seperti para mujahid yang menahan rasa lapar, haus, penderitaan dan rasa letih yang luar biasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Menjama' Sholat Ashar dan Maghrib?

Ustadz apakah shalat Ashar bisa dijama’ dengan shalat Maghrib. Soalnya saya pernah terlambat shalat Ashar sedang di perjalanan memasuki maghrib. Menjama’ atau melaksanakan dua kewajiban shalat pada satu waktu merupakan keringanan ( rukhsah ) yang diberikan Allah SWT atas kaum muslimin, sekaligus menjadi salah satu bukti keluwesan Islam dan kemudahan hidup di dalam aturan Islam. Keringanan untuk menjama’ shalat ini diantaranya diberikan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan ( musafir ). Cara pelaksanaan shalat jama’ ini bisa dilakukan dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir . Jama’ taqdim ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang awal yakni dengan menarik waktu shalat berikut ke waktu awal, misalnya melaksanakan shalat ashar ke waktu dzuhur. Sedangkan jama’ takhir ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang akhir atau mengerjakan shalat awal ke waktu shalat berikutnya, misalnya melaksanakan shalat dzuhur ke waktu ash

Manajemen Sumberdaya Waktu

Demi masa.. Begitulah Allah SWT bersumpah atas waktu di dalam al-Qur'an surat al-Ashr. Hal ini, menurut para ahli tafsir ( mufassir ), menunjukkan akan arti penting atas permasalahan tersebut. Dan sepatutnya menjadi perhatian utama bagi kaum muslimin, yang membaca al-Qur'an. Perhatikanlah waktu! Sesungguhnya seluruh manusia itu berada dalam kerugian. Begitulah Allah SWT melanjutkan peringatannya. Pengelolaan waktu yang serampangan mengakibatkan kehancuran dan kebinasaan. Di dunia, waktu yang tersia-sia menjerumuskan manusia ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan secara materi (peradaban) maupun budaya. Di akhirat, manusia yang hidupnya tidak memperhatikan waktu akan menuai kesengsaraan yang tidak kalah nestapanya dan tiada berkesudahan. Maka, perhatikanlah waktu, bagaimana kita mengelolanya dan untuk apa kita alokasikan seluruh waktu yang kita miliki. Agar kita terhindar dari kebinasaan di dunia dan di akhirat, sebab manusia yang bijak akan mengalokasikan waktunya

Menunaikan Haji Tapi Tidak Zakat

Ustadz apa hukumnya orang yang mampu melaksanakan haji tetapi tidak menunaikan zakat? Apakah hajinya sah? Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara utuh, sebagaimana halnya diwajibkan menegakkan Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan demikian, seluruh kewajiban ibadah tidak boleh dipilah-pilah dalam pelaksanaannya. Seorang muslim wajib menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, serta pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut tanpa adanya alasan ( udzur syar’i ), maka dia telah melanggar perintah Allah. Orang yang meninggalkan sebagian kewajiban disebabkan kelalaian, malas ataupun kebodohan, tanpa bermaksud mengingkari kewajiban tersebut atau meremehkan syari’ah Allah dan masih mengerjakan sebagian kewajiban Islam lainnya, maka ia masih digolo