Langsung ke konten utama

Merasakan Nikmatnya Ibadah dan Beramal Shalih


Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam, dan barangsiapa yang dikhendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. al-An’am 6: 125)
Dalam setiap shalat, kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar diberikan petunduk ke jalan yang lurus. Demikian pula di dalam do’a-do’a yang kita panjatkan, salah satu permohonan kita adalah senantiasa diberikan hidayah oleh Allah SWT, agar kita senantiasa dalam ketaatan dan istiqamah di jalan Islam. Dan di dalam ceramah-ceramah, pengajian dan ta’lim-ta’lim, senantiasa pula kita diingatkan agar mensyukuri nikmat terbesar yang kita miliki, yakni nikmat hidayah iman dan Islam.
Hanyasaja, adakalanya apa yang kita panjatkan di dalam do’a, tidak kita fahami dalam kenyataannya. Jika kita memohon senantiasa dalam petunjuk ke jalan yang lurus, apakah saat ini kita sudah menapaki jalan tersebut? Tidak sedikit pula diantara kita, menganggukkan kepala dikala para ustadz dan penceramah, menyebutkan hidayah iman dan Islam sebagai nikmat terbesar yang kita miliki, namun kita tidak merasakannya. Kita mungkin masih bertanya-tanya, nikmat semacam apa yang dirasakan dari iman dan Islam itu? Apakah bukan sebaliknya, bahwa ajaran Islam dirasakan bagaikan sebuah rangkaian kewajiban, beban yang menggelayuti hidup kita, dan aturan yang membatasi dan mempersempit ruang kehidupan kita?
Maka kita pun bertanya-tanya, adakah kita dalam lindungan hidayah Allah SWT? Apakah langkah-langkah kita terarah dalam petunjuk Allah sebagaimana yang acapkali kita mohonkan? Bagaimana kita bisa mengetahuinya? Bahwa kita berjalan diatas hidayah Allah, atau malah hidup kita sudah melenceng jauh dari hidayah Allah?
Di dalam ayat diatas, Allah SWT memberikan tanda yang sesungguhnya teramat mudah bagi kita, untuk menjawab semua pertanyaan itu. Tanda bahwa kita dalam hidayah Allah SWT adalah, bahwa kita dimudahkan Allah dalam melaksanakan ketaatan, ibadah dan amal shalih. Sebaliknya, tanda bahwasanya hidup kita jauh dari hidayah Allah SWT, kita merasakan kesulitan untuk taat kepada Allah, untuk beribadah dan beramal shalih.
Sangatlah mudah tanda-tanda itu diketahui, sebab setiap diri bisa merasakannya sendiri, setiap orang mengalaminya, dan karena itu setiap orang bisa menilai dirinya dan mengetahui kedudukannya, adakah dia berada di dalam lindungan hidayah Allah atau hidupnya justu jauh dari hidayah dan semakin menjauh daripadanya.
Bila kita dilapangkan oleh Allah SWT, maka terasa ringan bagi kita untuk bangun menunaikan shalat shubuh, langkah-langkah kaki terasa ringan menuju masjid untuk shalat berjamaah. Kita rasakan kenikmatan tatkala mendengarkan ataupun membaca al-Qur’an. Betapa ringannya tangan mengulurkan bantuan, menunaikan zakat atau memberikan infaq dan shadaqah. Tidaklah sulit bagi diri kita untuk mengunci lisan kita, dari apa yang diharamkan Allah SWT. Betapa mudahnya kita menutup benak kita dari prasangka buruk kepada sesama saudara seiman. Demikianlah, Allah lapangkan hati kita untuk menjalankan ketaatan. Tidak ada rasa berat, justru semua itu kita nikmati dan rasakan sebagai keindahan dalam kehidupan yang kita jalani.
Allah melapangkan kita untuk taat di jalanNya, berarti pula Allah menyempitkan kita untuk bermaksiat kepadaNya. Ini sudah pasti. Sebab dua jalan ini, ketaatan dan kemaksiatan, adalah dua jalan yang saling berseberangan, berlawanan, tidak mungkin kita tempuh berbarengan. Bila shalat kita benar, tidaklah mungkin kita pun mudah untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar. Demikianlah pula kedermawanan kita di jalan Allah, pastilah akan menghilangkan sikap kikir (bakhil) dan perilaku boros (ishraf) maupun membelanjakan harta dalam sesuatu yang sia-sia (tabdzir).
Itulah tanda, yang apabila kita merasakan kemudahan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, bersyukurlah karena hidayah Allah meliputi langkah-langkah kita. Jika kita bisa menikmati setiap ibadah yang kita laksanakan, bersyukurlah pula, sebab itu pun menjadi tanda hidup dalam lindungan petuntuk Allah SWT.
Namun, jika sebaliknya, dada kita merasakan sempit untuk taat kepada Allah, kaki kita terasa berat untuk beribadah dan beramal shalih. Waspadalah… itu tanda hidup kita jauh dari hidayah Allah, pertanda langkah kita semakin menjauh dari petunjuk Allah SWT. Hati-hatilah, tanda ini kadangkala menipu diri kita. Nafsu syahwat dan bisikan syaithan sangat mungkin mengelabui diri kita. Sehingga, orang yang telah dijauhkan dari hidayah Allah, kadangkala ia merasa dirinya berada dalam lindungan Allah SWT.
Perhatikanlah, ketika mata kita sulit terjaga dikala shubuh, hawa nafsu akan memberikan sejuta alasan bagi kita untuk memejamkannya. Tatkala langkah kaki terasa berat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, syaithan akan membisikkan berbagai keutamaan untuk membatalkan shalat berjamaah. Saat tangan kita menjadi ringan karena dibantu oleh perasaan riya dan sum’ah, kita masih merasa semua itu adalah ibadah dan amal shalih. Hati yang jauh dari hidayah, berbagai bentuk ibadah dan amal shalih akan menyesakkan dada hingga seolah ia sedang mendaki ke langit.
Pada sisi yang lain, tatkala dada sesak dalam beribadah, maka ia pun dilapangkan dalam kemaksiatan. Tatkala langkah kaki terasa berat dalam ketaatan, pintu kemungkaran pun terbuka lebar. Nilai hidup pun jungkir balik. Kehinaan dalam pandangan Allah, dikiranya kemuliaan dalam pandangan manusia. Lisan yang berbicara tiada henti, dikiranya lebih baik daripada lisan yang diam dalam dzikir.
Itulah tanda, yang mudah kita ketahui, untuk menilai kedudukan kita, adakah hidup kita dalam hidayah Allah SWT, ataukah menjauh dari hidayahNya. Bersyukurlah jika kita merasakan kenikmatan tatkala beribadah dan beramal shalih, dan senantiasa kita mohonkan agar kita tetap demikian, istiqamah di jalan Allah. Namun, manakala kita rasakan sebaliknya, begitu banyak kesulitan dan rintangan yang kita rasakan saat hendak beribadah dan beramal shalih, saatnyalah kita menginstrospeksi diri (muhasabah), bertaubat dan merapatkan diri bersama orang-orang shalih dan berilmu. Hanya itulah jalannya…
DOWNLOAD ARTIKEL INI 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah Menjama' Sholat Ashar dan Maghrib?

Ustadz apakah shalat Ashar bisa dijama’ dengan shalat Maghrib. Soalnya saya pernah terlambat shalat Ashar sedang di perjalanan memasuki maghrib. Menjama’ atau melaksanakan dua kewajiban shalat pada satu waktu merupakan keringanan ( rukhsah ) yang diberikan Allah SWT atas kaum muslimin, sekaligus menjadi salah satu bukti keluwesan Islam dan kemudahan hidup di dalam aturan Islam. Keringanan untuk menjama’ shalat ini diantaranya diberikan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan ( musafir ). Cara pelaksanaan shalat jama’ ini bisa dilakukan dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir . Jama’ taqdim ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang awal yakni dengan menarik waktu shalat berikut ke waktu awal, misalnya melaksanakan shalat ashar ke waktu dzuhur. Sedangkan jama’ takhir ialah melaksanakan dua shalat pada waktu shalat yang akhir atau mengerjakan shalat awal ke waktu shalat berikutnya, misalnya melaksanakan shalat dzuhur ke waktu ash

Manajemen Sumberdaya Waktu

Demi masa.. Begitulah Allah SWT bersumpah atas waktu di dalam al-Qur'an surat al-Ashr. Hal ini, menurut para ahli tafsir ( mufassir ), menunjukkan akan arti penting atas permasalahan tersebut. Dan sepatutnya menjadi perhatian utama bagi kaum muslimin, yang membaca al-Qur'an. Perhatikanlah waktu! Sesungguhnya seluruh manusia itu berada dalam kerugian. Begitulah Allah SWT melanjutkan peringatannya. Pengelolaan waktu yang serampangan mengakibatkan kehancuran dan kebinasaan. Di dunia, waktu yang tersia-sia menjerumuskan manusia ke dalam keterbelakangan dan keterpurukan secara materi (peradaban) maupun budaya. Di akhirat, manusia yang hidupnya tidak memperhatikan waktu akan menuai kesengsaraan yang tidak kalah nestapanya dan tiada berkesudahan. Maka, perhatikanlah waktu, bagaimana kita mengelolanya dan untuk apa kita alokasikan seluruh waktu yang kita miliki. Agar kita terhindar dari kebinasaan di dunia dan di akhirat, sebab manusia yang bijak akan mengalokasikan waktunya

Menunaikan Haji Tapi Tidak Zakat

Ustadz apa hukumnya orang yang mampu melaksanakan haji tetapi tidak menunaikan zakat? Apakah hajinya sah? Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara utuh, sebagaimana halnya diwajibkan menegakkan Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya”. (QS. Al-Baqarah: 208). Dengan demikian, seluruh kewajiban ibadah tidak boleh dipilah-pilah dalam pelaksanaannya. Seorang muslim wajib menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum di bulan Ramadhan, serta pergi haji ke Baitullah bagi yang mampu. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut tanpa adanya alasan ( udzur syar’i ), maka dia telah melanggar perintah Allah. Orang yang meninggalkan sebagian kewajiban disebabkan kelalaian, malas ataupun kebodohan, tanpa bermaksud mengingkari kewajiban tersebut atau meremehkan syari’ah Allah dan masih mengerjakan sebagian kewajiban Islam lainnya, maka ia masih digolo